OM SWASTYASTU

Jumat, 09 September 2011

BISAKAH  BALI TETAP BERTAHAN SEBAGAI TUJUAN WISATA DUNIA?
Nyoman sudana
Hingga kini Bali sekurang-kurangnya telah menerima 25 penghargaan tingkat internasional dari berbagai lembaga publikasi dan negara lain sejak 1998. Sebagian besar penghargaan yang diberikan kepada Bali terutama dalam hal keunikan dan kecantikan alam Bali yang tidak ada duanya. Belum lama ini Bali juga sukses meraih penghargaan The Best Spa in The World dari Majalah Senses Wellnes. Saat ini bintang top dunia YULIA ROBERT sedang shooting film Eat, Pray and Love di Bali ! Bila saatnya film ini ditayangkan diseluruh dunia, maka Bali  pasti akan makin menjadi perhatian masyarakat dunia. Saat ini juga Bali berupaya mendapatkan predikat sebagai "The Best Island" se Asia-Pasifik pada FEBRUARI 2010 dari Majalah Destin Asia merupakah majalah pariwisata yang terbit dan dipasarkan di Hongkong, Singapura, Thailand, India, Malaysia, Australia, Taiwan, dan sejumlah negara di Timur Tengah.
Apakah dimasa mendatang Bali bisa tetap bertahan sebagai tujuan wisata dunia, yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia? Kalau tidak segera diambil langkah-langkah strategis dan berani…penulis yakin itu hanya menjadi kenangan masa lampau ! Bali harus terus menjaga keunikan budaya/agamanya, kecantikan alamnya dengan dukungan dari  pelayanan/infrastruktur pariwisatanya.
Salah satu komponen penting dari aspek pelayanan/infrastruktur pariwisata adalah masalah pemanfaatan ruang Bali,yang segera harus di evaluasi Semua pihak baik yang berwenang maupun para pemuka di Bali segera harus sadar bahwa masa depan Pulau Bali sudah menerima sinyal Lampu Merah ! Lalu lintas di banyak tempat sudah rutin macet-cet! Andaikan sebuah Pelemahan Umah Bali, ternyata pemanfaatan ruangnya sudah  sesak-padat, semrawut / amburadul, tempel sana tempel sini, tidak jelas dimana natah, dan mana bale-adat, area suci/sanggah dipaksa dipepet oleh KM/WC dan tempat jemuran (hal yang sangat tabu bagi budaya Bali), sudah tidak ada tempat untuk dapat bergerak leluasa dan apabila  sedikit tersulut api akan segera terjadi kebakaran dan amblaslah semua asset kita. Untuk Bali hal itu tinggal menunggu waktu !
Kenapa bisa begitu? Kuncinya adalah kesamaan persepsi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Karena RTRW yang ada sekarang mungkin tidak atau belum  memperhitungkan proyeksi kebutuhan dan pemanfaatan ruang pada saat ini apalagi dimasa datang. Penduduk, orang Bali asli maupun pendatang terus bertambah, kegiatan sosial ekonomi akan terus berkembang,  tetapi luas ruang / Pulau Bali yang ada sangat terbatas. Dalam hal ini sangat-sangat wajar saat ini terjadi tumpang tindih kepentingan, rebutan ruang secara membabi buta, masyarakat makin merasa aspek -aspek kehidupan / aspirasi pemanfaatan ruangnya dikuasai oleh kewenangan pejabat dan investor demi kepentingan kantongnya sesaat. Ya, semua harus sadar bahwa Bali sangat kecil ! Tetapi kita  ingin Bali tetap Ajeg, bertekad mempertahankan suasana pelemahan ber-arsitektural Bali yang dilandasi Agama dan Budaya luhung. Dilain pihak Bali dituntut harus tetap semakin sejahtera,  sehingga harus terus dapat berkembang sesuai dengan pertumbuhan ekonomi, dan tetap memerlukan investasi yang ramah  dengan alam dan budaya Bali. Benang merahnya  adalah Bali harus mempunyai RTRW yang mampu meng-akomodir semua perkembangan sosial ekonomi ditanah Bali, sesuai dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki Bali. Keberhasilan RTRW sangat tergantung dari isi rencananya, konsistensi pelaksanaannya dan pengendalian dengan aspek hukumnya yang tegas. Dalam rencana, harus ditetapkan secara tegas kawasan-kawasan yang berfungsi konservasi, yang menjamin tetap seimbangnya alam, sekala-niskala  Bali sampai kapanpun.  Dalam RTRW juga menetapkan sistem pusat-pusat perkotaannya dengan orde yang jelas, sistem transportasi darat, laut dan udara, serta seterusnya. Karena terbatasnya lahan pada kawasan budidaya inilah, penulis mengusulkan harus memanfaatkan lahan Bali seefisien mungkin. Misalnya kalau perlu sistim transportasi darat harus dikaji alternatif sistem kereta api dibawah tanah atau mungkin lainnya! Demikian juga dengan jalan, penulis sangat setuju direncanakan jalan-jalan layang diperkotaan dan mungkin diwilayah pertanian, yang tidak menyentuh langsung lahan pertanian sehingga sawah masih tetap dipertahankan. Tidak seperti jalan IB Mantra yang memakan banyak lahan subur, sementara saat ini kita hanya bisa menyesal dan protes atas tidak keberdayaan yang berwenang mengatur wilayah tersebut. Tapi dulu banyak orang ber ramai-ramai menolak usul ir Tokorde Sukawati untuk membangun jalan layang pada arteri primer lintas selatan Bali itu. Mungkin perlu melihat bagaiman jalan-jalan di Swiss melayang-layang diatas kawasan peternakan/pertanian, menembus bukit dan gunung, sehingga alamnya masih tetap asri karena tidak mungkin dirusak oleh mereka yang ingin berakses langsung ke jalan tersebut.
Pada kawasan khusus / enclave yang merupakan kawasan pelayananan pariwisata dan perdagangan yang wilayahnya terpisah dari desa adat pekraman justru harusnya dipersyaratkan bangunan yang bertingkat tinggi. Tetapi di kawasan desa adat pekraman harus dipersyaratkan bangunan berarsitektur Bali dan maksimun hanya berlantai dua/tiga saja, sehingga masih tetap bersuasana Bali yang khas. Dengan konsep ini pasti ratusan bahkan ribuan hektar lahan dapat dihemat. Seperti apa yang telah dilakukan oleh negara-negara maju seperti Jepang, Australia, Singapura dan lainnya, sehingga mereka tetap mampu mempertahankan suasana khas budaya pedesaannya tanpa digerogoti oleh keinginan investor untuk mendesaknya. Saat ini kita masih bisa menikmati pedesaan yang asri dan tradisional di Jepang, Australia dan lainnya didunia ini, sementara kita ragu bagaimana Bali kedepan dengan RTRW yang tidak memperhitungkan keterbatasan lahannya, dengan tetap bersikukuh mempertahankan tidak boleh membangun gedung melebihi pohon kelapa...sehingga lahan makin cepat habis dan wajar terjadi banyak kepentingan yang mengakibatkan konflik merebutkan lahan subur, menggrogoti kawasan konservasi bahkan memepet kekawasan suci serta terdesaknya desa pekraman. Saya  mendukung Bapak Gubernur mengevaluasi RTRW dan semua PERDA yang tidak berorientasi pada Ajeg Bali ! Membangun dan menjaga Bali dengan men-sejahterakan rakyat Bali dengan tetap menjaga kelestarian dan keseimbangan alam, agama dan budaya Bali. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, baik bagi mereka yang berduit maupun masyarakat umum yang mencoba melanggar RTRW demi kepentingannya. Semoga aspirasi ini dapat menjadi renungan bagi kita orang Bali dan khususnya bagi mereka yang berwenang dan yang merasa dirinya pakar dan pemuka !

    *
Nyoman Sudana, mantan Kepala Bapedda Kalbar dan Ketua Badan Persiapan Pengelolaan Kawasan Khusus Perbatasan Kalbar, kelahiran Blahbatuh Gianyar, tinggal dikota Pontianak & Surabaya.

Pelemahan Umah  = Denah Rumah Tradisional Bali
Natah = halaman tengah
bale-adat = rumah tradisional Bali
sanggah = tempat bersembahyang
pelemahan = denah /tata ruang
sekala-niskala = sesuatu yang nyata dan yang tidak nyata
desa adat pekraman = suatu wilayah pedesaan yang disatukan oleh kesamaan adat dan agama
Ajeg = tetap bertahan

3 komentar: