OM SWASTYASTU

Rabu, 03 Juni 2009

Menerima Lotre GBS

MENDAPAT ’LOTRE’ PENYAKIT LANGKA
” GUILLAIN BARRE SYNDROME” (GBS)
Oleh Nyoman Sudana


Kesibukan yang meningkat pada medio November tahun lalu, antara Pontianak – Jakarta – Surabaya membuat kondisi kelelahan fisik mencapai puncaknya.....saya menerima ’lotre’ dari suatu penyakit langka yang katanya bernama GBS atau Guillain Barre’ Syndrome (dibaca Gilan Barray Syndrome). Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia : Lumpuh Layu ! Saya yakin banyak diantara kita yang belum mendengar mengenai jenis penyakit tersebut. Menurut beberapa tulisan, penyakit ini menjangkit satu dari 40.000 orang tiap tahunnya. Tidak mengenal usia, tetapi jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Jadi pantas saya menyebutnya ini sebuah ’lotre’
Berkat kasih sayang Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui diagnosa medis yang cepat dan pengobatan yang tepat (dan kebetulan obatnya tersedia), saat ini saya sudah pulih sehat kembali. Menurut ceritanya, kebanyakan penderita terlambat diketahui bahwa sedang menderita GBS dan pengobatannya pasti tidak tepat, sehingga akibatnya pasti fatal yaitu kematian atau lumpuh layu permanen...
Untuk itu saya mencoba membuat tulisan ini, bukan untuk pamer diri tetapi sekedar sebagai referensi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca agar lebih mengenal apa itu penyakit GBS. Karena kalau sudah menderita penyakit ini, maka penderita dan keluarga pasti akan bingung, putus asa dan khawatir. Maklum sakitnya lumpuh, yang bila terjadi secara permanen maka akan menjadi beban keluarga sampai saat ajal menjemput....
Pada umumnya penyakit ini menjangkiti orang yang sebelumnya flu berat atau diare serta pada saat daya tahan tubuh melemah karena kecapekan luar biasa.
Malam sebelumnya saya memang menderita diare tetapi saya anggap itu masalah kecil, paling besok pagi sudah sembuh. Ternyata mulai jam 3 pagi tanggal 24 November saya berkeringat dingin, mual dan kepala seperti mau dibanting ! Istri dengan sigap melumuri uluhati, perut, kepala dengan minyak kayu putih. Setelah dichek dengan Automatic Blood Pressure Monitor ternyata tekanan darah saya anjlog yaitu 76/46. Saat itu saya tidak kuat lagi untuk berdiri apalagi berjalan. Akhirnya diputuskan saya dibawa ke UGD Rumah Sakit Surabaya Internasional (Ramsay Health Care) di jalan Nginden Intan, yang lokasinya kebetulan dekat dengan rumah kami. Dokter jaga berkesimpulan saya dalam kondisi kritis dan harus masuk ICU. Pada waktu itu rekaman jantung/ECG saya tidak normal, tekanan darahnya drop dan kepala sangat sakit. Di ICU semua peralatan monitor tekanan darah, detak jantung dan alat pembantu pernafasan langsung dipasang. Anehnya temperatur badan masih normal, sehingga saya masih bisa berkomunikasi melalui HP, termasuk dengan teman-teman kerja di Pontianak. Hasil Laboratorium lengkap lainnya ternyata dalam batas normal. Karena indikasi penyakit saya awalnya adalah masalah jantung maka kami memilih dokter ahli Cardiology yang cukup dikenal di Surabaya yaitu Prof. Dr. Djoko Soemantri Sp.JP. Sekitar jam 15 sore setelah dilakukan rekaman jantung ulang yang ternyata normal, Prof Djoko menyimpulkan saya hanya menderita Vertigo ringan, diare dan kecapekan saja, dan memerintahkan saya dikeluarkan dari ICU dan perlu dirawat inap untuk istirahat satu sampai dengan dua hari. Tanggal 27 November saya akhirnya diijinkan pulang. Saya pikir masalah sudah selesai. Tetapi setelah keluar dari opname, kondisi saya masih merasa kurang bertenaga, lemas, pinginnya tiduran saja. Hari-hari berikutnya saya masih melakukan kegiatan rutin, walau dengan keadaan yang tidak fit.
Tanggal 4 Desember pada saat saya bangun jam 4 pagi, kepala saya sangat sakit, badan pegal semua dan kaki serta tangan kesemutan. Berdiri dan berjalan terasa berat dan sempoyongan. Istri memutuskan saya harus dibawa ke UGD lagi Tekanan darah saya ternyata cukup tinggi yaitu 153/90, yang biasanya tekanan darah saya cendrung rendah. Karena ada indikasi kaki dan tangan kesemutan maka tim medis di UGD memanggil dokter spesialis saraf (Neurolog) yang sedang bertugas disana yaitu Dr. Christian Kamallan SP.S. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter menyarankan kalau bisa dilakukan rawat inap untuk dapat dilakukan diagnosa selanjutnya. Tetapi karena kesannya tidak ada keharusan, maka saya minta pengobatan jalan dan istirahat dirumah saja. Saya juga berpikir nanti malam saya harus hadir dalam acara lamaran, mewakili kakak ipar saya sebagai keluarga calon pengantin wanita. Pada saat sampai didepan rumah kami, saya memaksakan diri untuk keluar mobil untuk mencapai pintu pagar karena istri yang menjadi supir juga sedang pusing sekali. Tetapi ternyata kaki saya sudah tidak bisa menopang badan saya sehingga saya harus merangkak. Melihat kondisi saya, akhirnya istri memaksakan diri untuk memapah saya untuk mencapai pintu pagar. Untuk mencapai kamar, saya harus mandiri dengan berpegangan dinding dan apa saja yang ada. Istri juga langsung tidur setelah minum obatnya sambil tak lupa mengatakan, wis pa urip dewe-dewe yo ! ( sudah ya pa kita hidup sendiri-sendiri). Terpikir oleh kami tentang anak-anak kami yang sedang tidak ditempat...sungguh nelongso Saat saya mau mandi untuk bersiap akan menghadiri acara lamaran, badan saya mulai sulit untuk bergerak, namun saya masih berusaha berjalan kekamar mandi dengan berpegangan apa saja untuk bisa masuk kamar mandi. Sungguh perjuangan yang sangat berat untuk bisa mandi sendiri walau sambil duduk diatas closet. Setelah selesai saya langsung mengusulkan untuk batal berangkat. Tetapi kami kemudian berpikir, disana kan hanya duduk saja dan tidak lama, maka kami memutuskan untuk hadir. Dari tempat parkir mobil sampai ditempat acara saya dipapah oleh istri dan anak saya. Saya merasakan banyak tamu yang hadir melihat saya dengan prihatin, mungkin mereka berpikir saya dalam kondisi stroke. Selesai acara lamaran, saya mulai merasa akan ambruk dan segera minta pulang. Saya masih sempat memberi selamat kepada kedua calon penganten sekaligus cipika-cipiki. Untuk bisa berdiri dari kursi, saya harus diangkat dan digendong untuk bisa masuk mobil. Malam itu saya langsung dibawa ke tempat praktek Prof. Dr. Djoko Soemantri Sp.JP. Disana saya langsung minta tidur dibed yang tersedia diruang tunggu. Setelah dichek oleh Prof Djoko termasuk rekaman jantung dengan ECG, beliau menyimpulkan bahwa saya salah minum obat tadi malam dan hanya kecapekan. Obatnya hanya istirahat dan makan yang cukup serta bergizi. Tak lupa beliau juga memberi obat untuk menambah stamina dan pengendalian tekanan darah agar stabil.
Besok paginya pada tanggal 5 Desember, saya sudah tidak mampu bangun, dari ujung kaki sampai pinggang dan tangan saya kesemutan sehingga mati rasa. Wah saya menduga saya sudah stroke. Saya langsung dibawa ke UGD Rumah Sakit Surabaya Internasional dan kembali diperiksa oleh Dr Christian, beliau kelihatannya sangat serius memikirkan penyakit saya. Beliau akhirnya memberitahu anak saya bahwa kemungkinan saya terjangkit virus ganas. Anak saya tidak tega memberitahu mamanya tetapi istri saya ternyata secara samar-samar mendengar pembicaraan tadi. Mereka langsung shock dan sangat sedih. Saya langsung dimasukan keruang Radiology untuk foto Thorax AP dan foto Vertebra Lumbosacralis AP dan ternyata tidak ditemukan adanya kelainan yang serius. Setelah itu saya dibawa ke ruang rawat inap untuk mendapatkan perawatan dan didiagnosa lebih lanjut. Dr Christian sebanyak lima kali pada hari itu memeriksa saya diruang rawat inap untuk lebih memastikan penyakit apa yang sedang saya derita. Beliau berdiskusi dengan kami dan menjelaskan penyakit apa yang saya derita. Saya menderita GBS dalam tahap awal, tapi apabila beberapa hari kedepan saya tidak segera diberi obat saya akan menuju lumpuh total. Dr Christian menjelaskan bahwa GBS dapat disembuhkan dengan dua cara / alternatif. Alternatif pertama yaitu dengan menambahkan imuno globulin interavena sesuai dengan berat tubuh pasien selama 5 hari berturut-turut. Alternatif kedua yaitu dengan plasmapharesis atau plasma exchange untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Alternatif pertama sangat mahal, karena obatnya hanya Gamaras (gamamune), harganya 2,5 juta rupiah per botol (50 ml). Sesuai dengan berat badan saya, akan diperlukan 50 botol Gamaras yang diinfuskan dengan total biaya sebesar 125 juta rupiah ! Belum termasuk obat-obat lain dan biaya lainnya. Sedangkan dengan alternatif kedua, akan sedikit lebih murah, karena dilakukan seperti orang cuci darah dengan alat khusus dalam waktu 7 – 14 hari. Kami menyerahkan keputusan kepada dokter sepenuhnya mana alternatif yang terbaik walaupun biayanya ternyata begitu besar. Dokter mungkin melihat ekspresi kami sehingga beliau akan mencoba mengecek kesiapan alternatif yang lebih murah, baik yang pertama maupun yang kedua. Sorenya beliau menyampaikan bahwa alat untuk ganti plasma hanya ada di Jakarta dan untuk kapasitas pemberian Gamaras beliau akan melihat perkembangan reaksi tubuh saya, sehingga mungkin tidak perlu diberikan sebanyak perkiraan semula. Untuk lebih memastikan penyakit saya maka beliau kemudian memutuskan saya harus dilakukan pemeriksaan lagi dengan EMG (Electro Mio Graphy) di Laboratorium Prima di Undaan Kulon. Besoknya pada tanggal 6 Desember jam 7.00 pagi, dengan mobil ambulance saya dibawa ke Laboratorium Prima (jarak tempuh sekitar 45 menit), disana pemeriksaan EMG ditangani langsung oleh Dr. Mudjiani Basuki, SpS. Hasil EMG menyimpulkan bahwa saya menderita Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP), itu adalah nama lain dari GBS. Dengan kepastian itu, malam itu saya langsung diinfus dengan Gamaras. Mudah-mudahan tubuh saya dapat menerimanya tanpa menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Prof Djoko yang juga masih ikut menangani saya khususnya dalam aspek jantung dan tekanan darah, menyatakan berdasarkan rekaman medis yang beliau lakukan, saya tidak mungkin ada indikasi kearah stroke. Beliau juga mendukung pilihan imuno globulin interavena adalah terbaik dan plasma exchange diragukan keberhasilannya ! Berturut-turut pada hari berikutnya selama 5 hari, 2 kali sehari, pagi dan malam, saya diinfuskan Gamaras sehingga jumlahnya hingga 30 botol, disamping juga obat-obat lain baik melalui infus, suntik dan juga tablet / capsul. Puncak kritis saya terjadi mendekati hari terakhir saya menerima Gamaras, kaki saya sangat perih dan sakit sekali. Saya merintih terus ! Setelah saya diberikan obat tidur / penenang dan obat menghilangkan rasa sakit, saya tertidur hampir 24 jam ! Hari berikutnya saya merasa segar dan kaki saya merasa lebih ringan, walau masih semutan dan merasa tebal. Selama hari-hari menghadapi penyakit itu, saya masih sangat tegar, saya ngobrol seperti biasanya walau saya dalam kondisi lumpuh ! Sementara apabila ada tamu / keluarga yang besuk, istri saya selalu menangis karena khawatir mengenai akibat dari penyakit ini, khususnya saat saya sedang tidur (kadang pura-pura tidur). Saya selalu berprinsip, semua kehidupan kita sudah diatur oleh Yang Diatas! Sehingga apapun yang terjadi harus dijalani saja.
Dua hari setelah Gamaras tuntas diinfuskan, saya mulai dikunjungi oleh dokter Phisiotherapi, Dr Cissy Cecilia T.L. Sp.S untuk menentukan langkah-langkah phisiotherapi yang harus saya lakukan. Beliau kagum atas perkembangan saya yang sangat positif. Setelah tanggal 14 Desember saya diijinkan pulang, saya berusaha mengikuti program phisioterapi yang dilakukan dirumah. Menjelang tahun baru 2009, akhirnya saya sudah mampu naik turun tangga dirumah dan selanjutnya mulai nyetir mobil untuk pergi kepasar, supermarket, melihat cucu dan kegiatan lainnya. Saat ini saya sudah kembali pulang ke Pontianak dan melakukan aktifitas sebagaimana biasa.
Saya bersyukur kehadapan Tuhan YME karena saya ditangani oleh dokter-dokter yang tepat, sehingga penyakit saya dapat dengan cepat diketahui. Pada umumnya GBS ini sulit di-deteksi karena umumnya pasien diperiksa oleh dokter yang tidak tepat sehingga proses pemeriksaan yang berliku dan memakan waktu. Padahal GBS menjalar dengan cepat dari ujung kaki bergerak keatas sampai ke pernapasan. Pasien akan lumpuh total kecuali mata saja yang bisa berkedip. Kalau sudah demikian pasien harus ditangani di ICU, dimana leher pasien harus dilobangi untuk membantu pernapasannya. Berdasarkan penjelasan Dr Christian dan membaca beberapa tulisan di Internet mengenai GBS maka saya sedikit mempunyai pengetahuan tentang GBS. GBS adalah penyakit langka akibat dari kelainan dari sistem kekebalan tubuh / antibodi yang menyerang sel saraf tubuh sendiri. Seharusnya hal itu tidak akan terjadi. Ketika kita flu atau diare, secara otomatis antibodi diperintahkan untuk membunuh virus itu. Entah lagi mabuk atau stress, yang mestinya sebagai tentara pejuang, antibodi berubah menjadi desersi/membelot, sehingga tidak bisa membedakan mana musuh mana kawan, sel selubung saraf tepi dimakannya juga. Akibatnya pembungkus saraf rusak, sehingga perintah menggerakkan anggota badan yang dikirim otak tidak akan sampai ke organ tersebut. Itu artinya kelumpuhan ! Sampai sekarang penyebab (etimologi) kenapa ada antibodi yang desersi belum diketahui oleh dunia kedokteran. Dengan logika tersebut maka dapat disimpulkan bahwa GBS bukan penyakit keturunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, terinfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. GBS bisa timbul seminggu atau dua minggu setelah terinfeksi usus atau tenggorokan.
Mudah-mudahan tulisan ini berguna bagi pembaca, untuk mengantisipasi macam-macam penyakit yang belum pernah kita kenal sebelumnya.